Kabupaten Kulonprogo begitu kondang dengan Geblek. Hingga dihadirkan motif batik geblek renteng. Makanan yang umumnya berbentuk cincin ini banyak menjadi sandaran ekonomi masyarakatnya. Salah satunya adalah Cristina, salah satu warga Dusun Gedong, Purwosari, Girimulyo. Ia merupakan produsen dari Geblek Menoreh Mbok Painem.
Mbok Painem adalah nama Ibunya. Orang pertama yang mengajarinya cara membuat geblek. "Simbok saya itu terkenal dengan geblek buatannya. Jadi setiap keluarga baru berkumpul di tempat simbok. pasti minta geblek. Lalu saya punya ide sama anak saya untuk meneruskan," jelas Cristina kala ditemui di rumahnya.
Kepada saya, Cristina bercerita tentang proses pembuatan geblek yang telah diproduksi selama lima tahun ini. Ciri utama yang membedakan adalah bahan pembuatannya yang tidak menggunakaan kanji. Namun, trempos sekaligus air perasan singkong.
Proses pembuatan geblek diawali dengan mengupas dan mencuci singkong. Selanjutnya, singkong akan dijebor setelah diparut. Metode yang merujuk pada pembuatan kanji melalui pencucian parutan singkong. Air akan ditampung dan disaring agar mengendap hingga menjadi kanji. Ampas singkong akan difermentasi semalam lalu dicuci kembali dan diperas hingga kadar airnya seminimal mungkin. Selanjutnya, dijemur dan diayak agar menjadi tepung.
Cristina mengaku tidak ada resep khusus dalam geblek buatannya. Ia hanya menggunakan bumbu bawang dan garam untuk mencampur tepung dan kanji yang telah jadi tadi. Kedua bahan ini diulen sampai halus hingga akhirnya bisa dibentuk bulat. Cristina menjual geblek mentah yang siap digoreng dengan kemasan 1/4 kg. Ia mematok harga Rp3.500. Produknya yang divakum ini bisa tahan hingga enam bulan.
"Kesannya memang mahal karena di pasar ada yang harga dua ribu, tapi ya itu rasanya beda. Pangsa pasar saya itu memang orang yang sudah terbiasa dan tahu geblek yang asli," jelasnya.
Dirinya menjelaskan jika ada keinginan untuk mempertahankan resep ini. Ia khawatir jika di masa depan resep geblek asli justru tidak lagi dikenal. Pilihannya ini tentu memberinya risiko tersendiri. Salah satunya adalah sulitnya menemukan pangsa pasar.
"Saya coba memasukan ke kafe-kafe itu, tapi engga diterima karena dari singkong. Mereka maunya geblek yang pati karena kan putih bersih. Kalau dari singkong kan engga bisa," jelasnya.
Meski begitu, ada masa di mana usahanya bisa laku keras. Salah satu momennya justru kala pandemi kemarin. "Dulu dari Jogja ada yang ambil. Minimal sehari 50 bungkus," tuturnya.
Ramainya pembeli ini di latar belakangi oleh penggunaan media sosial Facebook yang dioperasikan oleh anaknya. Ia sendiri sampai mengirim ke lain kota, seperti Jakarta, Bandung. Beberapa pulau di luar Jawa juga sempat menjadi pangsa pasarnya. Misalnya, Sumatra dan Kalimantan.
Meski demikian, omzet usaha yang kini dijalani bersama anaknya mulai menurun. Karena itu, ia hanya membuat geblek ketika ada pesanan. Langkah yang diambil demi menghindari kerugian.
"Kalau kita bikin tapi engga laku ya dimakan sendiri. Kalu engga ya dibagi-bagikan. Jadi ada hikmahnya bisa ngasih ke orang," ujarnya sembari tersenyum.
Kepada saya ia memberikan tips agar menghindari rasa asam yang terkadang melekat pada geblek. Ketika tingkat keasamannya begitu tinggi tentu akan memengaruhi selera orang yang mengonsumsinya. Menurut Cristina, hal ini disebabkan oleh kesalahan fermentasi.
"Trempos habis dipisahkan dari airnya bisa masukan ke wadah lalu saya kasih air. Jadi, kembeng. Baru besuk dicuci lagi," ucapnya.
Geblek Menoreh Mbok Painem sendiri sedang menanti turunnya Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SPP-PIRT) dari Dinas Kesehatan. Sebelumnya, izin usaha juga telah dimiliki. Cristina sendiri juga memegang sertifikat pelatihan.
"Semoga usahanya lancar dan bisa laku. Inginnya ya saya di rumah, tapi ada aja yang pesen," pungkasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar